ASAL USUL SEJARAH KOTA PURWODADI GROBOGAN
Timbulnya kerajaan Mataram bukanlah karena kepercayaan adanya riwayat,
kaol, ramalan atau kepercayaan akan adanya wahyu keraton, yang ditujukan
untuk memuliakan keturunan Ki Ageng Sela atau atas diri Sutowijaya,
akan tetapi sangat diwarnai oleh adanya pertentangan paham kepercayaan
yang membutuhkan perpindahan pusat kerajaaan dari Demak ke Pajang dan Ke
Mataram.
Mula-mula, Mataram hanyalah sebuah "petinggen" dengan petingginya Ki
Ageng Pamanahan dengan sebutannya Ki Ageng Mataram. Daerah ini diperoleh
sebagai hadiah dari Sultan Pajang karena dapat membunuh Harya
Panangsang dari Jipang.
Selanjutnya Ki Ageng mataram digantikan oleh Putranya Sutowijoyo atau
mas Ngabehi Loring Pasar, dengan pangkat Bupati. Desa Mataram di Kutha
Gede segera dibangun menjadi sebuah kota berbenteng yang kuat. Daerah
Sela, Tarub, Getas, warung dan sekitarnya menjadi daerah "pamijen"
Mataram (Almanak, 1921:65). Perbuatan Senopati ini menimbulkan amarah
Sultan Hadiwijaya, sebab sudah begitu besar kasih kepadanya, tetapi
pembalasannya sangat tidak seimbang.
Di lain pihak, tindakan Sutowijoyo (Senopati) menimbulkan rasa iri pada
Harya Pangiri, Putera Sunan Prawata dan menantu Sultan yang merasa kalah
berebut kasih dari Sultan. Padahal Sutowijoyo hanyalah keturunan "wong
cilik" dari Sela. Dilain pihak pula tindakan Sutowijoyo juga membuat
tidak senangnya Bupati Tuban, menantu Sultan Hadiwijaya yang lain,
karena Sutowijoyo menciptakan saingan terhadap Pajang, Jipang dan Tuban.
Gelagat yang tidak baik ini juga dirasakan oleh Sultan. Sebagai orang
tua, sedapat mungkin Sultan berusaha mencegah timbulnya perselisihan.
Tetapi perselisihan tetap terjadi setelah terjadinya peristiwa
Tumenggung Mayang, menantu Ki Ageng Pamanahan serta pembunuhan seorang
utusan dari Banten oleh Raden Rangga, putera Sutowijoyo di Mataram.
Akhirnya mataram diserbu oleh pasukan gabungan Pajang, Jipang dan Tuban.
Tetapi serbuan tersebut tidak berhasil. (M. Atmodarminto, 1955 :
349-353; Alamanak, 1921: 90-91). Setelah penyerbuan tersebut, Sultan
jatuh sakit, kemudian mangkat dan makamkan di desa Butuh Kuyang tahun
11582 (M. Atmodarminto, 1961 : 303-304).
Dengan kemangkatan Sultan Hadiwijoyo, keadaan politik Jawa semakin
tegang. Antara Sutowijoyo dengan pangeran Benowo, putera Sultan di satu
pihak, berhadapan dengan Harya Pangiri dan Bupati Tuban di pihak lain.
Mataram memperoleh dukungan dari para Buyut, Ki Ageng serta Sunan
Kalijogo dan tokoh-tokoh pedalaman yang lain, sedang Harya Pangiri dan
bupati Tuban mendapatkan dukungan dari para wali yang lain serta
penguasa pantai.
Tentang kemangkatan Sultan Hadiwijoyo, di dalam Babad Mataram dikatakan
bahwa pembunuh Sultan adalah Juru Taman, abdi Sutowijoyo. Demikian
bunyinya :
Juru Taman pan sampun kadugi, ing karsane wau gustinira, tur sembah
umesat age, Prapteng Pajang kadhatyn, kanjeng Sultan kapangggih linggih,
gaya binithi jajanya, Sultan datan emut, apan samya tinangisan, ingkang
garwa putra-putri samya anjrit, kagyat wungu jeng Sultan. (M.
Atmodarminto, 1961:305).
Selanjutnya keputusan para wali, Harya Pangiri menggantikan kedudukan
Sultan sebagai raja Pajang. Tahun 1586 dia dihancurkan oleh pangeran
Benowo dengan bantuan Sutowijoyo. Jadi Harya Pangiri berkuasa di Pajang
selama empat tahun (1562-1586). Kemudian dia dikembalikan ke Demak
sebagai Bupati yang berada di bawah perintah Pajang/Mataram.
Selanjutnya atas kerelaan Benowo, kekuasaan Pajang diserahkan kepada
Sutowijoyo di Mataram. Dengan demikian Pajang berada di bawah kuasa
Mataram. Maka berakhirlah Kesultanan Pajang. Dengan demikian
daerah-daerah Jipang, Sela, Teras Karas, Wirasari, Santenan (Cengkal
Sewu), Demak, Kedu, dan Grobogan menjadi daerah Mataram.
Beberapa waktu kemudian Sutowijoyo sebagai penguasa Mataram menggunakan
gelar Panembahan Senopati ing Alaga Ngabdurrachman Sayidin Panatagama
Khalifatullah. Daerahnya diperluas ke Madiun, Ponorogo, Kediri,
Surabaya, Begelen, Blora, Lasem, dan beberapa daerah di Bojonegoro
(Jipang).
Terhadap Pati, Senopati mengangkat Adipati Pragola atau Adipati
Joyokusumo sebagai bupati. Adipati Pragola adalah anak Panjawi, cucu Ki
Ageng Ngerang. Tetapi ketika Senopati beristerikan puteri Retnodumilah,
putera Adipati Madiun, Adipati Pragola tidak senang hatinya.
Sebab isteri pertama adalah kakak Adipati Pragola, dan sudah berputera
Mas Jolang, sebagai Putera Mahkota. Dia khawatir, jangan-jangan Senopati
akan mencabut hak putra mahkota itu bila Retnodumilah berputera. Oleh
karena itu Adipati Pragola pulang ke Pati dan melakukan pemberontakan.
Daerah Santenan, Cengkal Sewu, Warung, Blora, Jipang dan Grobogan
diserbu dan dijadikan daerah Pati. Tetapi pemberontakan tersebut segera
dapat ditindas oleh Senopati, dan Pati dijadikan daerah Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645), Adipati
Pragola II dari Pati berontak pula kepada Mataram. Dia dihasut oleh T.
Endranata. Tetapi gagal. Adipati Pragola gugur dibunuh oleh Ng.
Nayadrana. Sedang T. Endranata ditangkap dan dibunuh. (Althoff, 1941:
57-59) Kemudian untuk daerah Pati ditempatkan T. Mangunoneng sebagai
Bupati yang menguasai daerah-daerah Pati, Santenan, Sela, Jipang, Blora,
Warung, Grobogan, dan Demak.
Sultan Agung digantikan oleh Sunan (Amangkurat I : 1645-1676). Tahun
1646 Sunan mengadakan perjanjian dengan Kumpeni belanda. Tindakan Sunan
inilah yang menjadi awal mula Mataram secara berangsur-angsur jatuh di
bawah kuasa Kumpeni Belanda. Maka banyak bangsawan yantg tidak senang.
Kemudian mereka melakukan pemberontakan di bawah pimpinan Panembahan
Kajoran, dan Raden Trunojoyo seorang pemuda dari Madura.
Dalam penyerbuannya R Trunojoyo dapat menduduki istana Plered. Dalam
penyerbuan tersebut, R. Trunojoyo mendapatkan bantuan dari pasukan
Bugis-Makasar di bawah pimpinan Karaeng Galengsong dan Raja Galengsong,
serta Bupati Pasisir. Dalam penyerbuan itu pasukan dibagi dua: separoh
pimpinan T. Mangkuyuda yang memimpin orang-orang Mancanagari dan
orang-orang pasisir melalui Grobogan, Sukawati, Pajang dan menuju
Kajoran. Dia dibantu oleh T. Dandang Wacana dan Daeng Marewa. Sebagian
lagi melalui Semarang, Kedu, Trayem sampai di Mataram sebelah Barat di
bawah pimpinan T. Wangsaprana dan Daeng Warewa. Desa-desa yang terletak
di sepanjang jalan yang dilalui oleh barisan tersebut dirusak dan
dirampok.
Kota Plered dikepung dari arah barat, utara dan timur kota. Dalam
pertempuran tersebut Sunan tidak mau melawan. Dia beserta putera mahkota
dan keluarganya meloloskan diri dari istana, dan pergi ke arah barat.
Tujuannya hendak ke Batavia minta bantuan kepada Kumpeni Belanda.
Peristiwa ini terjadi pada malam Minggu, 18 Sapar, Tahun Be, 1600 atau
1677 Masehi, dengan demikian pasukan Trunojoyo dengan mudah dapat
menduduki istana Plered.
Tetapi tidak lama kemudian keraton Plered dapat direbut kembali oleh P.
Puger, salah seorang putera Sunan. Karena dikabarkan Putera Mahkota
tidak mau menjadi raja dan akan naik haji ke Mekkah, maka P. puger
mengangkat diri menjadi raja Mataram dengan gelar : Susuhunan Ngalaga
ing Mataram (Altoff, 1941 : 63 : M. Atmodarminto, 1961:399). Kenyataan
putera Mahkota tidak naik haji ke Mekah, tetapi dia diangkat menjadi
Sunan Amangkurat II di Mataram. Maka di Mataram ada dua orang raja.
Sunan Amangkurat II tidak senang bertempat tinggal di Plered. Dia ingin
mendirikan istana di tempat yang baru, maka dipilihlah Wanakerta sebagai
istana di tempat yang baru tersebut diberi nama Kartasura Adiningrat.
Dengan Kumpeni diadakan perjanjian yang dikenal dengan sebutan Kontrak
Kendeng tahun 1976. Isinya pantai utara Jawa digadaikan kepada Kumpeni
Belanda dan juga beberapa daerah Mancanegari seperti Blora, Jipang,
Grobogan, dan Cengkal Sewu. Susuhunan Ngalaga tidak senang terhadap
tindakan Sunan Amangkurat tersebut. Maka dia bersiap-siap menyerbu
Kartosuro.
Kabupaten Grobogan Pada Masa Kartosuro dan Surakarta
Pada masa pemberontakan Trunojoyo, keraton Plered berhasil diduduki
musuh. Menurut kepercayaan Jawa, istana yang telah diduduki musuh akan
hilang kesaktiannya dan kesuciannya. Maka Sunan Amangkurat II tidak mau
menempati istana Plered lagi. Dia ingin mendirikan istana baru di tempat
lain. Ada yang mengusulkan di Tingkir, di Logender, dan di Wonokerto.
Adipati Urawan mengusulkan agar pindah ke Wonokerto dengan alasan :
tanahnya datar, subur, dan strategis, serta menetapi "wisik" yang
diterima oleh P. Pekik ketika berada di Butuh Kuyang:
Ki Pekik, wruhananmu, kowe besuk duwe putu lanang, jumeneng ratu gedhe,
kedhatone ana ing Wonokerto, kaprenah sakuloning Pajang, abebala
bacingah, jejuluk Sunan Mangkurat. (Althoff, 1941: 132).
Selanjutnya persiapan pembangunan istana baru dilakukan. Adipati
Nrangkusuma memimpin penebasan hutan Wonokerto. Sesudah pembangunan
istana selesai, pada hari Rabu Pon, 27 Ruwah, Tahun Alip, 1603, Sunan
Amangkurat II pindah istana ke Wonokerto dan nama Wonokerto di ganti
menjadi Kartosuro Adiningrat (Althof, 1941 : 199).
Pertentangan antara Sunan Ngalaga dengan Sunan Amangkurat II segera
dapat diselesaikan setelah keduanya mengetahui duduk perkaranya. Sunan
Ngalaga kembali menjadi P. Puger dan bertempat tinggal di Kartosuro
dengan mendapatkan "lungguh" 4000 karya.
Pada tahun 1703 Sunan Amangkurat II (Sunan Amral) mangkat dan diganti
oleh Putera Mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Susuhunan
Amangkurat III atau Susuhunan Amangkurat Emas. Raja yang masih muda ini
selalu berbeda pendapat dengan P. Puger.
Akhirnya pada Tahun 1708 P. Puger pergi ke Semarang tujuan minta bantuan
kepada Kumpeni Belanda agar diangkat menjadi Sunan Kartosuro. Oleh
Kumpeni permintaan tersebut dikabulkan dan P. Puger diangkat menjadi
Sunan Kartosuro dengan gelar : Susuhunan Paku Buwono I.
Sebagai upah dari pengangkatan tersebut, daerah-daerah Demak, Grobogan,
Sela dan daerah sekitar Semarang sampai Ungaran diambil oleh Kumpeni
sebagai wilayah Kumpeni. Sementara itu pasukan Sunan Kartasura yang
ingin menyerbu ke Semarang dapat di tahan oleh pasukan gabungan Sunan
Paku Buwono I dan Kumpeni, sehingga terpaksa kembali ke Kartosuro.
Peristiwa ini terjadi pada 19 Juni 1708 (Raffles, 1978:188).
Tidak lama setelah pengangkatan itu, Sunan Paku Buwono I menyerbu ke
Kartosuro. Sunan Amangkurat gugur dalam pertempuran dan Sunan Paku
Buwono I menjadi raja di Kartosuro (1709-1719).
Tahun 1719 Sunan Paku Buwono mangkat, digantikan oleh Susuhunan
Amangkurat IV atau Susuhunan Amangkurat Jawi. Pada masa Sunan Paku
Buwono I, yaitu pada tahun 1709 diadakan perjanjian dengan Kumpeni. Isi
pokok perjanjian tersebut antara lain daerah Semarang dan sekitarnya
digadaikan kepada Kumpeni, termasuk didalamnya daerah-daerah Demak,
kudus, Blora, Jepara, Pati, Grobogan, Kendal.
Pada masa Amangkurat IV terdapat seorang abdi pekatik yang sangat dekat
dengan raja bernama Wongso Dipo. Karena jasanya dapat menyelamatkan jiwa
Sunan ketika terjadi perang dengan Pangeran Blitar dan P. Purboyo di
Mataram, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati Grobogan dengan gelar T.
Martopuro. Hanya daerahnya tidak jelas dia dia masih harus tetap tinggal
di Kartosuro. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin, 21 Jumadilakir,
tahun Jimakir, 1650 atau 4 Maret 1726. (Serat perjanjian Dalem Nata:92).
Dalam pengangkatan tersebut tidak disebutkan daerah-daerah yang menjadi
wilayah kekuasaan Kabupaten Grobogan, adalah : Sela, Teras Karas,
Wirosari, Grobogan, Santenan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian
utara Bengawan Sala (Babad Pecina: 172-174). Kemudian beberapa bulan
berikutnya Sunan Amangkurat IV mangkat dan digantikan oleh Sunan Paku
Buwono II (1727-1749).
Karena Sunan ini masih terlalu muda (baru berumur 16 tahun) maka sebagai
penasehat ditunjuk Patih Danurejo, sehingga pengaruh Patih ini terhadap
raja sangat besar. Patih ini sangat benci kepada Belanda. Dia
mendapatkan dukungan dari Ibu suri raja Ratu Amangkurat, dan T.
Martopuro, Bupati Grobogan. Secara diam-diam ketiganya dapat
mempengaruhi hati Sunan pun benci kepada Belanda.
Untuk mempersiapkan segala sesuatunya, T. Martopuro meminta kepada
Bupati Demak. T. Joyoningrat menyusun kekuatan mengusir Belanda dari
Semarang. Usaha ini kelihatan berhasil. T. Joyoningrat melaporkan bahwa
mereka telah bersepakat dengan para Bupati pesisir, dan orang-orang
Tionghoa itu telah mengangkat seorang Kapten bernama Kapten Sinseh
sebagai pemimpin mereka. Mereka mengkoordinasi kekuatan Tionghua di
daerah Demak, Pati, Santenan dan Grobogan. Ini terjadi pada tahun 1731. (
Raffles, 1978:214).
Namun hati Sunan yang masih muda itu sering berubah-ubah. Dia khawatir
akan pengaruh Patih Danurejo yang semakin besar, maka akhirnya sikap
Danurejo dilaporkan kepada Belanda, . Akibatnya patih Danurejo ditangkap
dan diasingkan ke Sailan. T. Martopuro tidak senang hatinya dengan
tindakan Sunan tersebut, Diam-diam dia menyusun kekuatan di daerah
Grobogan.
Sebagai pengganti Patih maka diangkat Adipati Notokusumo, seorang yang
juga anti kepada Belanda. Di bawah tanah di bekerja dengan Demang Urawan
(putera P Purboyo yang kemudian di tawan dan mati di Batavia) dan T.
martopuro (BPH Buminoto, 1958:29)
Untuk membulatkan tekad dan pendapat, maka T. Martopuro mengadakan
rapat. Dalam rapat diiputuskan, bahwa mereka harus mempengaruhi hati
Sunan agar menyerbu ke Semarang dan membantu China. Sunan dapat
dipengaruhi. Hasilnya: Adipati Notokusumo diperintahkan menyerbu
Semarang dengan dibantu oleh Bupati-bupati Pasisir: Demak, Pati, Juana,
Grobogan, dan pasukan Tionghoa. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1741
(Raffles, 1978:215-217).
Ketika terjadi pemberontakan Cina di Batavia 1740 sikap Sunan tidak
tegas, tetapi setelah dapat dipengaruhi oleh Adipati Jayaningrat dengan
kawan-kawannya, sikap Sunan jelas membantu China. Keadaan ini segara
berubah, setelah usaha Adipati Notokusumo menyerbu Semarang gagal
(November 1741). Sikap Sunan berubah sama sekali. Dia berpihak kepada
Belanda. Bahkan Adipati Notokusumo ditangkap ditangkap dan dibuang ke
Sailan.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, ini, T. Martopuro tidak
enak hatinya, maka dia pulang ke Grobogan. Di Grobogan, dia mengangkat
diri sebagai Adipati Puger dan bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa
di Kartosuro.
Sementara itu tindakan Sunan semakin kejam. Pangeran Teposono dibunuh
tanpa dosa. P. Haryo Mangkunegoro, kakak iparnya dibuang ke Afrika
Selatan, tanpa dosa, dan beberapa sentana serta abdi dalem yang lain
diturunkan pangkat dan dan jabatannya. Sudah barang tentu keadaan ini
memberi angin baik kepada orang-orang Tionghoa untuk menghancurkan
Kartosuro yang rajanya tidak tetap pendiriannya itu. Demikian juga
dengan terang-terangan Adipati Puger atau Adipati Martopuro membantu
orang-orang Tionghoa.
Atas dorongan dan bantuan Kapitan Sepanjang, Bupati Pati, T.
Mangunoneng, dan Bupati Grobogan: Adipati Martopuro Puger, maka Raden
Mas Garendi, putera P. Teposono, dan salah seorang cucu Sunan Amangkurat
III, diangkat menjadi raja Kartosuro dengan gelar Susuhunan Kuning.
Raden Mas Garendi inggih punika putranipun Pangeran Teposono ingkang
dipun uyun-uyun dening Cina, kajumenengan nata ajejuluk Sunan Kuning,
dipun aturi nggepuk kartosuro. Adipati Martopuro anggenipun gadhah
pikajeng makaten wau, boten melikaken dhateng karaton, namung kabekto
saking kakening manahipun, ngantos kawedal wicantenipun dhateng Cina,
"Ratu kang cidra iku mangsa amalatana, getaken wae, amesthi kabur". Ing
ngriku Adipati Martopuro sampun sagolong kaliyan Cina, sumedya mbedah
nagari Kartosuro (Panambangan, 1976:43).
Keraton Kartosuro diserbu dan 30 Juni 1742 istana dapat diduduki. Sunan
Paku Buwono II terpaksa menyingkir ke Lawiyan kemudian terus ke Ponorogo
dengan diikuti oleh para pangeran yang masih setia kepada Sunan,
Pangeran Adipati Anom, dan kapten Hogendorp. Lolosnya Sunan dari istana
ditandai dengan sengkalan, "Swara karungu Obahing Bumi" (1667 Jawa =
1742 M) (Giyanti I: 1932: 14). Dalam pelarian itu Sunan membuat kontrak
Ponorogo. Isi kontrak antara lain; Seluruh pantai utara Jawa menjadi
milik Kumpeni Belanda; dan pemilihan serta pengangkatan Patih harus
mendapatkan persetujuan Kumpeni Belanda. Sebagai imbalannya Kumpeni
harus dapat mengembalikan takhta Kartosuro kepada Sunan.
Akhirnya atas bantuan pasukan Cakraningrat dari Madura, Kartosuro dapat
direbut kembali (Desember 1742). dan pada tanggal 24 Desember 1742 Sunan
Paku Buwono II kembali ke Kartosuro dan menduduki takhta kerajaan
kembali. Sunan Kuning melarikan diri ke timur dan akhirnya menyerah di
Surabaya (Oktober 1743). (MD Sumarto, 1952: 114-115). Perlawanan
diteruskan oleh kaum pemberontak yang tidak mau berdamai dengan Sunan
maupun Kumpeni Belanda. Mereka itu ialah : Adipati Martopuro di
Grobogan; RM Sahid atau RM Suryokusumo di Nglaroh; P. Singosari di
Keduwang, P. Buminoto di Wiraka dan lain-lain.
Karena Kartosuro sudah tidak aman lagi, maka Sunan ingin pindah dari
Kartosuro. Ada yang mengusulkan di desa Kadipolo, di desa Sonosewu, dan
di desa Sala. Yang terpilih adalah desa Sala. Setelah pembangunan istana
selesai, maka Sunan pindah ke Sala, dan digantinya namanya menjadi
Surakarta Hadiningrat. (Tus Pajang, 18). Pemetaan calon istana dan kota
serta pengukurannya dilakukan oleh Mayor Hogendrorp, Patih R A
Pringgoloyo, Kyai T. Pusponegoro, Kyai T Honggowongso, Kyai Y.
Mangkuyudo, Kyai T Tirtowiguno, Pangeran Wijil, Kyai Khalifah Buyut,
Kyai Ng. Yosodipuro I serta Kyai Tohjoyo. (Giyanti 1:19).
Desa Sala yang terpilih menjadi istana diratakan. Pembangunan istana
dilakukan oleh: Undagi Kyai Prabasena dibantu oleh Kyai Kartosono, Kyai
Rajegpuro, Kyai Srikuning ditambah tenaga dari mancanagari (Pawarti
Surakarta, 1939 : 23). Awal pembangunan ini ditandai dengan sengkalan
"Jalma Sapta Amayang Bhuwana" (1670 Jawa = 1744 M). Setelah selesai maka
keraton kartosuro dipindah ke Sala atau Surakarta Hadiningrat yang
ditandai sengkalan "Kombuling Puja Aryarsa ing Ratu (1670 jawa = 1745 M)
pada hari Rabu Pahing, 17 Sura, Je, 1670. (Pawarti, 1939: 16-17).
Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta Hadiningrat, negara
masih tetap dalam keadaan kacau. Pemberontakan masih tetap merajalela.
Para pemberontak itu ialah : Pangeran Haryo Buminoto di Sembuyan (Adik
Sunan). Pangeran Singosari di Kaduwang (Adik Sunan). Pangeran
Parangwadono (P. Suryokusumo atau RM Said) di Nglaroh. Adipati Martopuro
atau Adipati Puger di Grobogan Sukawati.
Para pemberontak itu bergabung menjadi satu dan berpusat di
Sukawati-Grobogan. Hanya Pangeran Haryo Buminoto sajalah yang tidak mau
bergabung. Ketika mereka berada di Sukowati, Adipati Martopuro
mengangkat P. Prangwadana menjadi Pangeran Adipati Anom Hamangkunagoro,
Senapati ing Ngalaga Sudibyaning Prang. Sedang Adipati Martopuro atau T.
Sujonopuro berganti nama menjadi Panembahan Puger. Waktu itu mereka
berpusat di Majarata, Sukawati.
Dalam keadaan kacau itu, adik Sunan yang lain, yaitu P. Mangkubumi,
karena dihina oleh Patih Pringgoloyo, juga keluar dari istana dan
melakukan pemberontakan.
Sabibaripun pasowanan B PH mangkubumi lajeng tata-tata badhe nilar
praja, kados ingkang sampun nate kalampahan. Lolosipun nyarengi
mantukipun Tuwan Gouvenur General Baron van Imhoof, inggih punika ing
dinten Sabtu Kliwon malem Ngahat legi, kaping 4 Jumadilawal, tahun Dai,
1971 (1745 Masehi). (Buminata, 1958: 13).
Selanjutnya P. Mangkubuni membentuk pusat pertahanan di desa Pandak
Karangnongko, daerah Sukowati, sedang Panembahan Puger berpusat di desa
Glagah, daerah Grobogan.
Pada suatu saat, pasukan Panembahan Puger mendapatkan serbuan hebat dari
pasukan gabungan Kumpeni dan Sunan. Dalam pertempuran itu pasukan Puger
mendapatkan kekalahan hebat. Pasukannya kacau balau. Bahkan dia sendiri
melarikan diri ke Semarang. Di semarang dia menyamar sebagai kuli
sambil menjual burung dara. Hidupnya terlunta-terlunta. Dalam hati dia
memohon kepada Tuhan agar dia memperoleh kebahagiaan di akhir nanti.
Awit saking sangeting prihatosipun, nuju satunggaling dalu, adipati
Martopuro supena. Katingalipun ing salebeting pasupenan kados dene
pinuju mara tamu jagong ing Kapatihan Natakusuman (Kartosuro), tamunipun
para putra tuwin para bupati, tetingalipun ringgit wacucal. Sareng
wiwit jejer, P. Mangkubumi katingal jumeneng mendhet balencong kebekta
lumajeng. Tamu lajeng bibaran. Tumunten katingal malih, RM Sahid ngrebat
kempol, ugi lajeng kabekta lumajeng. Adipati Martopuro nututi ngodol
saking wingking tindakipun P.Mangkubumi, purugipun mangetan, minggah ing
redi Lawu. Adipati Martopuro taksih dherekaken, sareng dumugi nginggil
kaget byar lajeng tangi (Panambangan, 1979 : 72).
Setelah mengalami peristiwa tersebut, Adipati Martopuro segera pergi ke
Surakarta mencari kabar tentang P. Mangkubumi. Dia menemui menantunya:
T. Joyopuspito atau T. Honggokusumo. Setelah ketemu, mereka berdua
ditambah anaknya Suwandi (Suryonagoro) pergi ke Sukowati. Dari T.
Joyopuspito dia mengetahui bahwa P. Mangkubumi juga melakukan
pemberontakan dan sekarang berada di desa Pandak Karangnongko, maka
mereka segera pergi menyusul P. Mangkubumi. mereka hendak mengabdi.
Setelah dapat menghadap, pengabdianya diterima. Adipati Martopuro
diangkat sebagai Puger (kembali pada namanya yang lama di Panembahan
Puger ketika berkumpul dengan P. Prangwadana di Grobogan). Sedang T.
Joyo Puspito diangkat menjadi Bupati dengan mana T. Suryonagoro.
Sementara itu pasukan P. Mangkubumi di Sembuyan sampai di Grobogan dan
bertemu dengan Adipati Puger. Mereka menghadap P. Mangkubumi di desa
Ramun, Grobogan. Tidak lama kemudian mereka berangkat ke Sembuyan dengan
membawa 1500 prajurit. Dari Sembuyan P. Mangkubumi kembali ke Jekawal,
Sukowati. Dari Jekawal terus ke Barat lewat arah Wirosari, Sela. Teras
Karas, Grobogan. Dari sini terus ke arah barat daya menyusuri lereng
Merbabu dan Merapi menuju ke Kedu. Dari Kedu terus ke Mataram. Di desa
Banaran, daerah Nanggulan, Gunung Gamping, P. Mangkubumi mengangkat diri
menjadi Susuhunan kabanaran.
Ing dinten Jumuah Legi, kaping 1 Sura, tahun Alip, 1675 utawi kaping 11
Desember 1749, BPH mangkubumi lenggah dipun adep para sadherek lan para
putra punapa dene punggawa sadaya ... lajeng jumeneng jejuluk Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga ngabdur
Rachman Sayidin Panatagama Khalifatulah (Buminata, 1958:20)
Karena penobatan tersebut terjadi di desa Banaran, maka akhirnya Sunan
biasa disebut Sunan Banaran di Mataram. Dalam penobatan tersebut Sunan
berkata : (Ibid: 20).
Rehning Ratu iku mesthine nganggo Patih, saiki ingkang dadi
karsaningsun, kaki PH Mangkunagoro ingsun sengkakake ing ngaluhur dadiya
Pepatihingsun, sarta abdiningsun Jayasanta dadiya Jeksa. Apadene
Adipati Puger dadiya Bupati Grobogan angerahna: Demak, Santenan, Cengkal
Sewu, Wirosari, Sesela, Teras Karas, Blora lan Jipang. T. Suryanagara
ingsun ganjar lemah 1500 karya. Sastra anjunjung anakingsun dadi
Pangeran Adipati Anom, Jejuluk KGPHH Mangkunagoro. Apadenen maneh
kangmas BPH Hadiwijaya, adhimas GPH Singasari, adhimas BPH Rangga,
adhimas BPH Prabu Jaka; Adhimas BPH Panular salin jeneng BPH
Mangkukusuma. Sarta junjung putraningsun dadi pangeran iya iku jeneng
Pangeran Hangabehi. Kabeh wae yen ana ingkang ora ngrujuki matura ing
dina iki. (Buminata: 20 ; Panambangan:93).
Selanjutnya peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1749 di Kasunanan
Surakarta adalah : Sepeninggal P. Mangkubumi maka Sunan jatuh sakit.
Pada waktu sakit keras itu datanglah Hogendorp ke Surakarta dengan
membawa naskah surat perjanjian. Sunan disuruh menandatangani surat
perjanjian tersebut. Dalam keadaan sakit keras itulah Sunan Paku Buwana
II menandatangani surat perjanjian yaitu pada tanggal 11 Desember 1749.
Rikala napak asmani perjanjian nglerehaken keprabon punika kaliyan dipun
wungokaken, sarta astanipun dipun cepengi. Wondene jumenengipun (Nata)
wonten ing dinten Senen Wage, kaping 4 sura, tahun Alip, 1675 utawi 14
desember 1749 masehi, dados kaot tigang dinten kaliyan jumeneng dalem
nata BPH Mangkubumi wonten ing Mataram (Buminata:21).
Jelas bahwa pengangkatan BPH Mangkubumi sebagai Susuhunan Kabanaran
bersamaan dengan penandatanganan perjanjian antara Sunan Paku Buwono II
dengan Kumpeni Belanda yaitu tanggal 11 Desember 1749.
Susuhunan Kabanaran tidak memperdulikan isi perjanjian tersebut. Dia
meneruskan perlawanannya menentang Belanda. Desa Banaran (daerah
Nanggulan, Kulon Progo, sebelah timur Gunung Gamping) dijadikan pusat
perlawanan Mangkubumen.
Dengan cepat pasukan Mangkubumen dapat menguasai daerah-daerah pantai
utara Jawa bagian Barat. Pada tahun 1752 daerah-daerah yang dikuasai
adalah daerah-daerah Kapten Juana (asli Ternate), T. Joyoningrat di
Pekalongan, T. Cokrojoyo di Batang, T. Jayengrono dan Wiradijoyo di
Brebes (Serat Perjanjian : 45-46).
Sesudah penobatan itu, adipati Puger di perintahkan kembali ke Grobogan
untuk menakhlukkan daerah-daerah sekitarnya dan untuk selanjutnya
menyerbu ke Surakarta.
Pada hari Ahad Legi, 22 Sura, Jimawal, 1677 atau 12 Desember 1751,
setelah selesai perang di Jenar (Kedu), Sunan Kabanaran mengangkat Abdi
Dalem Lebet pangkat mantri bernama Ng. Prawirorono menjadi Bupati dengan
nama T. Kartonadi karena jasanya dapat membunuh Mayor Clerk dalam
pertempuran di Jenar tersebut. T. Kartonadi ini nantinya diangkat
menjadi Bupati Grobogan dengan nama T. Sosronagoro.
Dalam masa inilah Sunan Kabanaran berbintang terang. Di beberapa tempat
selalu menang perang. Ketika Sunan Kabanaran sedang di desa Semawe,
menerima utusan dari T. Suryonegoro yang disuruh menjaga daerah
Grobogan, sebab sepeninggal T. Martopuro (Adipati Puger), dia
diperintahkan untuk menaklukan daerah-daerah atau desa-desa sekitar
Grobogan. Tidak lama kemudian Sunan Kabanaran berpindah tempat ke desa
Majaramu, kemudian ke desa Kalangrambat.
Di dalam menghadapi perang Mangkubumi, Belanda melaksanakan politik
pecah belah (devide et empera). Usaha ini kelihatan hasilnya: Sunan
Kabanaran dapat dipisahkan dari PA Mangkunegoro. Disamping itu Mayor
Hogendorp melalui utusannya Syech Ibrahim dapat membujuk Sunan Surakarta
(Paku Buwono III) untuk membagi kerajaannya untuk Sunan dan untuk Sunan
Kabanaran.
Untuk mengadakan persiapan perdamaian antara Sunan, Sunan Kabanaran dan
Kumpeni, maka pada hari Ngahad Legi, 4 Besar, Dai, 1679 atau 22
September 1754, Komisaris jendral N Hartingh menghadap Sunan Kabanaran
di desa Padagangan, sebelah barat laut kota Surakarta, wilayah Grobogan,
untuk mengadakan pembicaraan akan diadakannya perjanjian antara Sunan
Surakarta dengan Kabanaran (Buminata, 1958: 56-57).
Selanjutnya pada hari kamis Kliwon, 29 Rabingulakir, Be, 1680 atau 13
Pebruari 1755 diadakan perjanjian di desa Giyanti, wilayah Lebak
Jatisari antara Sunan Surakarta dengan Sunan Kabanaran. Naskah
perjanjian disahkan pada 1 Sapar, Jumakir, 1682. (Panambangan, 1918 :
137).
Dalam perjanjian tersebut Kumpeni meminta agar daerah Pesisir dan Madura
tidak dibagi, sebab sudah diserahkan kepada Kumpeni berdasarkan
perjanjian dengan Sunan Paku Buwono II (1749) dan Sunan Paku Buwono III
(1751). Daerah-daerah yang dibagi "Sigar semangka" ialah daerah-daerah
di Nagoro Agung. Sedang daerah-daerah yang dibagi sedaerah-daerah atau
sedesa-desa adalah daerah Monconagari Kilen dan Wetan. Daerah
Monconagari ada 30 daerah/kota yang dapat dibagi, tidak termasuk
daerah-daerah Pajang, Sukowati, dan Mataram bagian Selatan (Sukanto : 21
- 23; Buminata : 57 - 58; Giyanti XIII : 76-78 : Serat perjanjian Dalem
Nata : 57-58).
Dari hasil pembagian daerah-daerah Monconagari ini Sunan memperoleh
32.350 cacah (Karya) dan Sultan (Sunan Kabana¬ran) memperoleh 33.950
cacah (karaya). Sultan mendapatkan lebih luas karena daerahnya agak
tandus, sedangkan daerah Sunan merupakan daerah subur. Dengan demikian
maka dae¬rah - daerah Salatiga, Grobogan, wilayah Semarang, Jipang,
Blora juga termasuk daerah pembagian.
Menurut catatan Hartingh (Dejonge, Opkomst, X : 374-375) hasil pembagian
negara adalah masing-masing Surakarta dan Yogjakarta memperoleh daerah
seluas 53.100 cacah, yaitu berupa tanah lungguh, apanase sedesa atau
sekumpulan desa (ingkang dhawah seki lenipun Surakarta dipun palih sigar
semangka) (Buminata, 1958 : 73).
Untuk jelasnya, maka secara garis besar pembagiannya adalah sebagai
berikut :
a. Menurut Sukanto (1958 : 73).
Sultan mendapatkan daerah-daerah Madiun, Magetan, Caruban, saparoh
Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Teras Karas (Ngawen), Sela, Kuwu
(Warung), Rawa (Tulung Agung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro),
Wirosari, Grobogan. Daerah-daerah ini sebelumnya merupakan daerah
koordinatif Bupati Pati, Caruban, dan Kediri.
Sunan mendapatkan daerah-daerah : Jagaraga, Ponorogo, separoh Pacitan,
Kediri, Blitar, Srengat, Lodoyo. Pace, Nganjuk, Brebeg, Wirosobo (Mojo
Agung), Blora, Banyumas, Kaduwang. Daerah - daerah ini sebelumnya
menjadi koordinatif Bupati Ponorogo, Madiun dan Banyumas.
b. Menurut BPH Buminata (1958 : 73 : Penambangan, 1916 :137)
Sultan mendapatkan daerah-daerah : Madiun, Ponorogo, Sumoroto, Maospati,
Sidoyo, Pasuruan, Paci¬tan, Kalangbret, dan sepanjang pesisir Gresik.
Dengan catatan bahwa daerah-daerah di Kabupaten Grobagan tetap menajdi
daerah Kesultanan.
Sunan mendapatkan daerah-daerah ini ditandatangani antara Susuhunan dan
Sultan pada tanggal 26 April 1774, dan disaksikan oleh Gubernur Jenderal
Johanes Potters van den Burg. Tindakan ini perlu dilakukan sebab
perjanjian Giyanti sendiri mene¬tapkan secara jelas pembagian
daerah-daerah tersebut. ( Perjanjian Dalem Nata : 58 - 61 ).
Selanjutnya pada tanggal 14 Pebruari 1755, Sultan mengangkat para Abdi
dalem dan para "punggawa" dengan mengikuti pola yang ada di Kasunanan
Surakarta (Buminata: 71-72).
1. T. Suryonagoro diangkat menjadi Bupati Miji di Grobogan
menggantikan Adipati Puger yang sudah meninggal (1753) dengan nama T.
Yudonegoro.
2. T. Yudonegoro (Bupati Banyumas) yang diminta dari Sunan, diangkat
menjadi Patih dengan nama Raden Adipati Danurejo.
3. T. Ronggo Wirosetiko diangkat Wedana Panumping dengan nama T.
Ronggo Prawirodirjo.
4. dan lain - lain masih banyak lagi yang diangkat menjadi Punggawa
dan Abdi dalem.
Selanjutnya PA Mangkunagoro juga diadakan perjanjian di Salatiga pada
hari Jumat Pon, 5 Jumadilakir, Be, Windu Adi, 1681 atau 25 Maret 1757.
Sebagai Pangeran Miji, dia memperoleh tanah lungguh 4000 karya, yang
terdiri dari daerah-daerah : Laroh, Sembuyan, Matesih, Wiraka, Keduwang.
Ngawen, separoh kota Surakarta, Karang Anyar, Baturetno, dan beberapa
daerah kecil yang lain.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa daerah-daerah Kasultanan di daerah
Grobogan adalah Grobogan, Sesela, Teras Karas, Warung, Wirosari. Sedang
sunan juga memiliki daerah enclave di daerah Grobogan. Daerah enclave
Sunan seluas 35000 karya di daerah Grobogan, dan beberapa daerah lain,
yang berdasarkan perjanjian antara Sunan dengan Belanda tanggal 6
Januari 1811 dan ditanda tangani oleh Patih Raden Adipati Cokronegoro,
diambil oleh Kumpeni belanda (Zaman Daendels). Juga daerah-daerah
Jepara, Semarang, Demak Selatan (Cengkal Sewu), Salatiga, Blora, Jipang,
dan Kedu Utara sampai perbatasan Kendal, diambil oleh Kumpeni Belanda.
Prakawis 2
Kangjeng Gupermen Walandi samangke dipun sukani tatah Kedu kang kabawah
Kangjeng Susuhunan, punika plajengipun meh dumugi ing tanah pesisiran
kang ler.
Prakawis 4
Kalih Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani siti ingkang bawah Kangjeng
Susuhunan, siti becik ingkang wonten ing Semawis lan ing Demak, punapa
dene siti kang saupami (enclave) wonten ing Landresan, Jepanten, utawi
ing liyanipun punapa malih siti kang saupami (enclave) wonten Grobogan
lan tanah ing Salatiga.
Prakawis 5
Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani siti ing Blora kang wonten
saklering pungkasaning wates ing Grobogan lan tanah ing Jipang.
(Perjanjian Dalem Nata : 84 - 85; Sukanto : 77).
Kemudian berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Inggris, pada hari
sabtu, 1 Agustus 1812 daerah-daerah enclave di Salatiga, Demak, dan
Grobogan dikembalikan kepada Sunan, dan sebagai gantinya Inggris
mengambil seluruh kota pelabuhan, pasar-pasar, sarang burung, juga Kedu,
Wirasaba, Blora, Jombang, dan Pacitan. Sebagai gantinya Sunan
mendapatkan pajak pelabuhan, pasar, dan lain-lain tersebut sebesar
120.000 ringgit tiap tahun. (Perjanjian Dalem Nata : 90 - 92); Sukanto,
1958 : 96).
Pada 22 Juni 1830 antara Sunan dengan Belanda diadakan perjanjian, yang
isinya antara lain : daerah Sela, Kuwu, dan Kradenan dimasukkan ke dalam
wilayah Sukowati. Daerah ini pada tahun 1829 persetujuan Sultan diambil
oleh Sunan.
Wondene siti ing Sela tuwin ing distrik Kuwu, ing Kradenan, punika
taksih tumut golonganipun siti Sukowati, sanes siti Mancanegari. Mila
siti ing Kuwu lan ing Sela, saha siti ing bawah Mataram ing Imogiri, ing
Kitha Ageng bawah Surakarta taksih tetep dados kagungan Dalem Kraton
Surakarta. (Perjanjian Dalem Nata : 106)